Panjangnya Jalan Menuju Ketinggian 3726 MDPL

Sabtu, 12 September 2015.

Pukul 4.30 bus beregister L 7050 UY ini memasuki emplasemen kedatangan Terminal Purabaya, kusudahi kencan dengan sosok buatan Adi Putro model Setra lawas bernama Jawa Indah tersebut. Masih terlalu pagi kedatanganku disini. Sekitar lima jam kemudian Damri medium bus buatan karoseri Tri Sakti menjadi transporterku berpindah ke bandara Juanda.

Berdiam selama kurang lebih dua jam di T2 alias Terminal Dua Bandara Juanda, kali ini aku dan Asih, sang tripmate sudah berpindah kembali dalam sosok burung besi buatan Bombardier milik maskapai BUMN beregistrasi PK-GRJ. Penerbangan on time siang itu berjalan lancar hingga burung besi berkapasitas 96 pax tersebut menurunkanku di Bandara Internasional Lombok. Dari sini kami bertemu tripmate lain, Mas Adji yang sudah menunggu sedari beberapa jam lalu. Kami bertiga segera menuju ke tempat mangkal bus Damri setelah membeli tiket dahulu tentunya untuk jurusan Selong.

Pukul 14.30 WITA sosok biru berbaju Nucleus buatan karoseri Laksana ini angkat jangkar. Driver yang terlihat masih muda ini tak segan membejek pedal gas Hyundai bertenaga 136 ps ini. Satu setengah jam kemudian bus merapat di terminal Selong. Tak lama Bang Zahrudin datang menjemput bersama rekannya yang kuketahui bernama Arief. Kami bertiga diajaknya ke base camp Oasistala, sebuah organisasi pecinta alam di Lombok untuk beristiahat sebelum esoknya mendaki Rinjani. Malamnya kami isi acara untuk berbelanja logistik, namun sayangnya kami tidak menemukan oksigen mini. Aku hanya bisa berdoa agar kejadian di Semeru tempo hari tidak terulang disini.

Minggu, 13 September 2015

Pukul 8 kami berlima menuju Sembalun dengan menumpang pick up yang sudah di booking Bang Zahrudin semalam. Setelah mampir di Pasar Aikmel membeli tambahan logistik, Suzuki Mega Carry DR 9290 SB ini pun meluncur membelah jalur beraspal menuju Sembalun. Berhenti sejenak di Pos Registrasi, kamipun membayar 45ribu untuk tiga hari pendakian per orang. Dan ternyata oleh Bang Zahrudin kami dilewatkan jakur dari Desa Bawak Nao yang konon lebih cepat. Start dari rumah driver pick up tepat pukul 10.45, perjalanan awal melewati ladang penduduk, kemudian menyeberang sungai kering, memasuki hutan kecil. Kami tak sendiri, namun di belakang kami juga ada sebuah rombongan pendaki asal Bogor. Satu setengah jam berjalan kemudian kami melewati jembatan pertama yang merupakan pertemuan jalur dari Sembalun dan Bawak Nao. Menuju pos 1, dibawah kabut kami berjalan di tengah sabana yang aku yakin jika cerah pemandangannya tentu sangat indah, dan akhirnya pukul 13.15 sampailah kami semua di pos 1 dan beristirahat. Iseng kutanya Bang Zahrudin waktu tempuh ke pos 2, dijawabnya 29 menit. Cukup lama kami menikmati jahe hangat dan makanan kecil, pukul 14.07 perjalanan dilanjutkan kembali. Jalur masih tetap konstan, membelah savana yang sedikit menanjak namun banyak bonus mendatarnya. Tak terasa sampailah di jembatan pos 2, dan ternyata memang benar 29 menit ketika kulihat jam menunujukkan pukul 14.37 hahahaha. Disini kami mengisi air karena terdapat mata air di bawah jembatan walaupun terlihat kotor dan bercampur banyak sampah. Pukul 14.43 perjalanan berlanjut kembali menuju pos ekstra, target camp malam pertama kita. Dari sinilah perjalanan mulai terasa lama, meskipun gak terlalu nanjak-nanjak banget. Dan akibat terlalu sering berhenti kitapun sampai di pos ekstra pukul 16.01. Aku mencoba mengambil air dari sungai kering di bawah, yang ternyata harus menggali dulu untuk mendapatkan air. Namun air disini lebih bersih dibandingkan air dari pos 2 tadi.

DSC_0003

Pos 1

DSC_0002

Sabana jalur Sembalun

DSC_0017

Pos Ekstra, sebelum Pos 3

Sekitar pukul 19 malam, udara mulai terasa menusuk. Di sebelahku terdapat satu tenda yang penghuninya merupakan kakak beradik dari Jakarta dan Bandung. Kucoba keluar, dan pemandangannya amazing banget. Terbukti udara disini sangatlah bersih. Kulihat di atas, galaksi Bima Sakti terlihat sempurna berpadu dengan bintang-bintang. Sementara di tenda Bang Zahrudin terdengar riuh karena dengkuran Mas Adji yang keras, mereka bercanda dengan menyebut itu sebagai siaran langsung Moto GP. Rasa lelah yang mendera memaksaku lebih cepat masuk ke tenda, untuk kemudian beristirahat.

Jpeg

Pagi hari di Pos Ekstra

Senin, 14 September 2015

Pagi menjelang siang yang cerah, pukul 9.43 kami melanjutkan perjalanan lagi menuju Plawangan Sembalun. Sekitar lima menit berjalan sampailah kami di pos 3 yang tampak ramai. Lepas pos 3, muailah kami memasuki jalur yang dinamakan “Bukit Penyesalan”. Disinilah fisik mulai di uji. Jalur ini mirip seperti jalur Merbabu via Wekas, ataupun jalur Sumbing. Selain harus menanjak, debu yang berterbangan pun ikut andil mematahkan semangat. Belum lagi debu-debu yang beterbangan dibawa para bule dan porter-porter yang berlari turun.

Jpeg

Plang di Pos 3

DSC_0027

Salah satu sudut Bukit Penyesalan

Tanjakan demi tanjakan seakan tiada habisnya kami daki. Tak terhitung berapa bule dan porter yang sudah mendahului kami. Benar memang kata orang, jika perwakilan jalur-jalur gunung di Jawa ada disini. Dan akhirnya setelah mendaki sebanyak 7 bukit pukul 14.17 kami sampai di Plawangan Sembalun yang tampak ramai dengan bule dan tenda oranye Lafuma. Selesaikah perjalanan hari ini? Rupanya belum. “Kita bikin tenda disana, dekat sumber air”, kata Bang Zahrudin sambil menunjuk ke suatu arah. Busyet…. Dengan malas kaki ini melangkah mengikuti Bang Zahrudin dan Arief yang makin lama makin cepat jalannya. Setelah sempat beristirahat sebentar, kulanjutkan langkah bersama Asih dan Mas Adji hingga kami menemukan lokasi mendirikan tenda yang cocok pukul 14.45. Kali ini di sebelahku adalah rombongan pendaki dari Malaysia, di sebelahnya lagi adalah tenda milik pendaki asal Solo dan Bogor yang kemarin mulai naik bareng kita. Posisi tenda kami sangatlah menguntungkan dimana di depan tenda dengan naik sedikit kita sudah bisa melihat panorama segara anak yang saat itu masih tertutup awan. “Tunggu sebentar lagi, pasti terlihat tuh segara anaknya”, kata Bang Zahrudin. Dan benar saja, bersamaan dengan menjelang matahari terbenam awan yang menutupi danau pun menghilang. Sungguh, pemandangan kali ini membuat siapa saja sangat betah disini. Guratan langit jingga, dan penampakan gunung Agung yang terlihat jelas di depanku seakan menjadi pengobat lelah selama mendaki.

DSC_0043

Punggungan Plawangan Sembalun

DSC_0028

Puncak Anjani dari Plawangan Sembalun

DSC_0034

Tetangga sebelah

DSC_0066

Segara Anak

CSC_0104

Menjelang Sunset

DSC_0113

Gunung Agung di propinsi sebelah

Lepas isya keadaan terlihat sepi. Hanya obrolan porter yang terdengar. Kali ini kurasakan hawa tak sedingin saat di Pos Ekstra kemarin. Sementara di tenda sebelah, kembali terdengar siaran Moto GP jilid 2. Hahahaha.

Selasa, 15 September 2015

Pukul 2.38 kami mulai mendaki lagi. Kali ini Arief tidak ikut muncak, melainkan bertugas menjaga tenda. Jauh di depan barisan senter pendaki terlihat dengan jelasnya. Untuk menuju puncak kami menaiki bukit di depan tenda, kemudian turun, dan langsung disambut tanjakan curam dengan medan full pasir, kemudian menyusuri punggungan berpasir yang tanjakannya belum terlalu curam. Kulihat dibelakang masih banyak antrian senter pendaki, yang kemudian mereka satu per satu bisa mendahuluiku hahahaha. Tanjakan berpasir yang tiada habisnya sukses menguras tenagaku. Hingga akhirnya waktu itu datang. Sunrise….. Pelabuhan Kayangan dan beberapa gili-gili kecil serta Gunung Tambora nun jauh disana menjadi suguhan pembuka dari timur pagi itu, seirama dengan lagu Paradise milik Coldplay yang mengalun. Dan disini pula banyak pendaki yang mendahuluiku lagi hehehehe.

DSC_0132

Gunung Barujari

“Dari plawangan jam berapa bang?”, tanya seorang porter yang sedari tadi berjalan beriringan denganku. “Jam setengah 3 lebih bang”, jawabku. “Lho, mendingan. Saya dari jam 2 baru sampai sini. Biasanya cepet loh, apa puncaknya pindah ya?’, jawabnya dengan tertawa. Menurutnya biasanya dia hanya butuh waktu 3 jam untuk sampai ke puncak.

Jpeg

Puncak tinggal satu belokan lagi. 😀

“Ini jalur paling berat bang, nanti di depan situ udah enakan”, katanya lagi sambil menunjuk beberapa meter kedepan. Saat itu aku sudah sampai di “Letter S” dimana jalur yang kami pijak mirip seperti di Merapi, berbatu kerikil dan membuat merosot. Jauh di depan sana kulihat Bang Zahrudin sudah berada di bawah puncak, ditemani Mas Adji yang sedang berteduh dibawah bebatuan besar. Sementara Asih ada beberapa meter di depanku. “Hoooiii…. pengumumannnn…. puncak Rinjani pindaaahhh….”, teriak porter tadi dibelakangku. Sontak orang-orang didekat kita tak bisa menahan tawanya. Pukul 9.38 aku berhasil menginjakkan kaki di Puncak Anjani setelah sebelumnya Asih dan Mas Adji sampai terlebh dahulu. Dibelakangku menyusul dua pendaki dari Malaysia serta pendaki dari Jawa Timur yang membawa seorang cewek, masih kecil pula. Pemandangan di puncak sangat memukau, di hadapanku terbentang Segara Anak dengan gunung Barujarinya. Jauh didepan sana terlihat gunung Agung, sementara di belakangku terdapat kawah mati.

DSC_0159

Bersama pendaki asal Malaysia dan Jatim

DSC_0153

Kawah Mati

DSC_0179

Bang Zahrudin in action

DSC_0181

Asih in action

DSC_0191

yang punya lapak. 😀

Dikarenakan cuaca yang menyengat pukul 10.43 kami menyudahi “bermain” di ketinggian 3726 mdpl ini. Dalam perjalanan turun kembali Bang Zahrudin dengan entengnya berlari, disusul Mas Adji. Sementara aku dan Asih berjalan santai bersama seorang pendaki asal Nganjuk. Tak terasa lama, kamipun sampai di Plawangan Sembalun lagi dengan sambutan ratusan kera pukul 13.17. Rasanya sungguh tak adil dibandingkan dengn waktu berangkat. Itupun dengan berjalan santai. Setelah melemaskan otot, akupun pergi ke sumber air dibawah sana. Sempat bertemu dengan pendaki asal Salatiga, dan kami bertiga menggoda pendaki asal Bogor karena dia tidak bisa bahasa Jawa hahahahaha.

Lepas Ashar kami bersiap menuju danau segara anak. Namun tiba-tiba Bang Zahrudin membawa kabar buruk, bahwasanya persediaan logistik kita menipis, hanya cukup untuk makan 2 kali saja. Ya memang tak dipungkiri kami berlima merupakan tukang makan hehehehe. Melihat hal itu, kuputuskan saja langsung turun menuju desa Bawak Nao sore itu juga. “Maaf ya bang, kita mengecewakan belum bisa mengantar hingga danau”, kata Bang Zahrudin. “Tak apalah bang, toh danaunya juga masih disitu”, jawabku. Pukul 16.53 kami mulai turun. Perkiraanku jam 22-23 kami sudah mencapai desa Bawak Nao. Apes, baru beberapa meter menuruni bukit penyesalan Mas Adji berteriak. Rupanya kakinya sakit, efek dari seminggu sebelumnya dia mendaki Cikuray. Jadilah Bang Zahrudin menjelma menjadi Power Ranger dengan badan penuh muatan. Kali ini kami bejalan perlahan, dengan posisi di depan Arief, diikuti Asih, kemudian aku, Mas Adji dan terakhir Bang Zahrudin. Kali ini aku menghindari menjadi sweeper, dikarenakan malas di ganggu tetangga tak kasat mata seperti di Sindoro beberapa waktu sebelumnya.

Sampai di Pos 3 pukul 19.41, terdapat 2 tenda disini. Kamipun berhenti, menyeduh kopi dan memakan snack yang tersisa. Hingga pukul 20.24 perjalanan berlanjut kembali menuju pos 2. Melewati pos ekstra terasa sangat berbeda auranya karena sepi sekali. Dan kemudian pukul 21.22 pos 2 kami capai dengan suasana yang lumayan ramai. Pukul 21.29 melanjutkan perjalanan menuju pos 1. Sempat merinding ketika melewati jembatan di bawah pos 2, ah biarlah mereka berpesta, pikirku. Rupanya perjalanan menuju pos 1 kali ini lebih lama, karena pukul 22.06 kami baru mencapai pos 1 yang juga sepi.

Ditengah perjalanan menuju desa Bawak Nao terdengar suara sapi berkali-kali. Aku berpikir pastilah itu sapi warga yang sengaja dilepas disini karena waktu berangkat aku beberapa kali melihat ranjau kotoran sapi di sekitar sini, namun Asih dan Arif berpikiran itu suara tetangga tak kasat mata. Tak peduli dengan hal itu perjalanan tetap berlanjut.

Lampu-lampu jalan mulai terlihat ketika sampai di jembatan dekat persimpangan arah ke Sembalun. Kami berbelok kekiri menuju desa Bawak Nao. Disini suasana sudah terasa sangat berbeda. Suara burung gagak makin menambah aura negatif kali itu. Memasuki hutan, sengaja kuputar dengan keras lagu-lagu Sheila on7 dari MP3 yang kubawa. Entah mengapa rasanya perjalanan kali ini terasa sangat lama tidak sampai, meskipun lampu-lampu jalan dan rumah warga sudah terlihat dekat. Bahkan beberapa kali kuingatkan Asih agar tidak tertidur karena jalannya sudah sempoyongan.

Alhamdulillah, akhirnya kami semua sampai di rumah sopir pick up yang kemarin mengantar dari Selong pukul 00.10. Dari sini akhirnya kami tahu bahwasanya sapi-sapi tadi memang beneran ada, dan bukan makhluk halus. Cerita Bang Zahrudin lain lagi, saat di hutan dia beberapa kali seperti ada yang menarik ke belakang dan itu tentu bukan Mas Adji. Hahahaha…

Dan kemudian kami berlima menanti pagi di Bawak Nao. Ah Rinjani, semoga suatu saat aku bisa meyambangimu kembali dengan berjuta keindahan yang kau miliki.

Tinggalkan komentar