Bersama Restu Grup: Perjalanan Tak Direncanakan

Entah karena apa tiba-tiba diri ini merasa sangat malas berada di Kota Atlas malam itu, ingkar dari niat awal yang menginginkan diri ini memadamkan bara setelah lima hari bergelut dengan urusan pekerjaan. Kuraih daypack Rei hitamku yang mulai kusam termakan usia, selain memang untuk aktifitas keseharian tentunya. Packing secukupnya, kemudian kularikan kuda besi menuju terminal yang kadang bisa berfungsi sebagai waterboom juga, Terboyo.
Benar-benar tak ada rencana malam ini hingga aku mampir sejenak di sebuah minimarket dekat perlintasan rel Kaligawe, sampai akhirnya aku memutuskan untuk menuju Kota Pahlawan malam itu juga. Kulihat jam sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam. Otakku langsung bekerja mengarahkanku pada transporter yang akan kuandalkan mencapai Bungurasih, terminal yang sudah kuakrabi dalam beberapa tahun ini. Sinar Mandiri ‘Boros’ataupun Patas Eka 7503 yang menjadi pilihanku malam ini.
Sesaat setelah menaruh kuda besi di parkiran RSI Sultan Agung kulihat Boros sudah berjalan perlahan. Dalam sepersekian detik aku berlari mengejarnya, dan huuppp…. melompatlah aku masuk lewat pintu belakang. Namun ternyata…… full. Dan aku harus upacara terlebih dahulu malam ini. Aku baru teringat bahwasanya ini adalah Jumat malam.
Properti milik Restu Grup ini berjalan pelan, seolah ingkar dari kebiasaan. Sementara di bangku paling belakang kulihat seseorang tidur mengakuisisi hampir 90% deretan bangku tersebut. Kudengar beberapa penumpang menyebut “Surabaya” ketika menyerahkan beberapa rupiah kepada kondektur. Ini artinya banyak yang akan turun di tujuan akhir si silver hijau ini.
Sejam kemudian, N 7728 UG ini mencapai depan terminal Kudus. Sosok yang tidur tadi tiba-tiba bangun, dan turun kemudian menuju kedepan. Ternyata dialah sopir asli bis ini, Eko. Singgasananya pun aku duduki kemudian bersama beberapa penumpang lain. Sejurus kemudian, Hino AK8 ini tiba-tiba berlari seperti kesetanan dibawah kendali sang pawang asli. Kudengar tak sengaja percakapan kontrol yang tadi naik di depan terminal bersama kondektur muda itu. Intinya janganlah curang,karena sang kontrol sudah mengetahui kondektur-kondektur lain yang curang. Hingga sampai Pasar Bareng akhirnya sang kontrol tersebut turun setelah mencocokkan karcis dan jumlah penumpang.
Lepas Pati aku telah berpindah ke depan, laju Sinar Mandiri angkatan terakhir dari Semarang inipun tak segarang sebelumnya, hingga sampai Rembang akupun sukses menguasai hot seat karena penumpang barisan depan ada yang turun. Lasem, Sluke, Kragan masih berjalan dengan konsisten hingga akupun tertidur. Ketika terbangun kulihat bis buatan tahun 2011 ini dikendalikan sang kernet hingga sampai terminal lama Tuban pukul 3.30.
Berhenti lumayan lama, sekitaran setengah jam. Tiba-tiba Eko masuk dan langsung mengambil alih kemudi, seperti orang kesetanan melarikan mesin bertenaga 215 ps ini. Dan melesat menyusuri permadani aspal kota Tuban pagi itu.
“Jembatan-jembatan….”, teriak penumpang ditengah sambil berlari menuju pintu. “Jembatan mana?”, tanya sang kernet yang nampak kaget karena di daerah situ tidak ada jembatan. “Babat pak”, jawab penumpang tersebut. “Heyyy…. masih jauh mas… sudah sana tidur dulu”, jawab kernet. Sejenak aku tergelak mendengarnya. Dan bis berbaju jahitan Laksana ini pun melaju membelah fajar.
Ruas jalan Tuban hingga Lamongan pun terlewati dengan sempurna, sembari menambah pundi-pundi para penumpang yang mayoritas penglaju. Hingga akhirnya selepas Lamongan sebuah bis berkaroseri Rahayu Santosa model Celcius menempel Hino AK8 ini dari sebelah kanan. Eko pun memberi jalan bis tersebut. Namun bukannya menyalip Handoyo hitam orange itu malah memepet Boros, dan “Dhuaakk……”, tanpa ampun spion kanan diatas Eko beradu dengan kaca Celcius itu.
“Hoiiii….. A*u……”, teriak Eko. Dikejarnya Hino RK8 itu, dan akhirnya berhasil dihentikan. Turunlah dia bersama kernetnya. Tak pelak action pagi itu sukses membuat penumpang ketakutan. Eko sudah dalam posisi mencekik leher kernet Handoyo, sebelum akhirnya dipisahkan oleh kernet dan penumpang di seberangku. Dan bis pun berjalan lagi.
Didalam bis Eko pun bercerita jika hari sebelumnya Handoyo itu sempat dia kerjain, awalnya Handoyo mengajaknya balapan,hingga akhirnya dia sukses membuat bis hitam orange itu hampir nyungsep di sawah. Penumpang lain akhirnya tertawa mendengar ceritanya. Untunglah spion kanan yang disenggol Handoyo tidak pecah.
5.10
New Proteus ini pun memasuki tol Bunder, Gresik. Di ruas jalan bebas hambatan ini Eko memilih berjalan santai. “Jembatan-jembatan…..”, kudengar lagi seruan itu saat keenam roda bis hampir menapak Medaeng. Kembali lagi tawaku lepas mendengarnya. Dan akhirnya tepat pukul 6 turunlah aku di terminal Bungurasih.
Setelah membersihkan badan, kumenuju ruang tunggu yang sekarang telah sedikit berubah. Mirip-mirip seperti bandara. Bahkan di depanku ada dua orang bule yang dengan santainya merebahkan diri disitu. Kucoba menghubungi Mamal, ternyata Sabtu pagi dia ada kuliah. Yoweslah, pertemuan kita ditunda dulu ya. Sambil terus mengamati pergerakan berbagai macam moda transportasi beroda enam didepanku aku pun masih bingung mau kemana. Apakah Probolinggo lagi, ataukah menuju Malang. Akhirnya Malanglah pemenangnya. Langkahku menuju sebuah bis berlivery sekawanan panda yang sudah stand by di jalur pemberangkatan. Kuhempaskan diri ini bangku baris ketiga hingga pukul 8 akhirnya Restu AC Tarif Biasa ini bergerak meninggalkan terminal Bungurasih. Mahar sebesar 15ribu rupiah kutebus untuk jarak Surabaya-Malang. Murah menurutku. Semarang-Solo saja 15ribu sudah KL sebelum BBM naik dulu. Sekarang mungkin sudah naik lagi.
Berada di jalan tol membuat sang pawang N 7752 UG ini memacu panda ijo secepat mungkin. Entah karena sudah terbiasa, ataupun settingan mesinnya yang yahud, Hino AK8 ini terasa enteng berlari meskipun menggendong AC buatan Thermo King yang pagi itu masih kuasa menyemburkan hawa sejuknya. Memasuki Porong, masih tampak lancar jaya. Hingga daerah Apollo, kemacetan pun dimulai. Namun panda ijo ini pandai berkelit, goyang kanan kiri sambil menjaring penumpang untuk memenuhi isi kabinnya. Tak beda dengan saudaranya, Sinar Mandiri, Restu ini juga menerapkan petugas kontrol guna meminimalisir kecurangan kru nya. Lagi-lagi kuteringat dengan jalur gemuk Semarang-Solo, yang ternyata memiliki kemiripan dengan jalur Surabaya-Malang. Entah itu armadanya ataupun kontur jalannya sendiri.
Akhirnya tepat 2 jam dari Bungurasih, panda inipun mencapai tempat berlabuhnya di terminal Arjosari Malang, disusul Tentrem selang beberapa menit. Catatan waktu yang tak buruk mengingat padatnya jalanan. Perutku yang dari pagi belum diisi pun berontak. Akupun berjalan keluar terminal yang memang nampak semrawut itu, mirip-mirip terminal Terboyo lah. Akhirnya akupun terdampar di sebuah warung di seberang pintu masuk terminal. Hanya lima belas menit aku disana, kemudian kembali lagi menuju tempat pemberangkatan bis menuju Surabaya. Di jalur patas kulihat Kalisari yang tempo hari mengantarkanku ke Surabaya sepulang dari Semeru. Namun kali ini lagi-lagi Restu Panda yang menjadi pilihanku. Bis berkasta AC Tarif Biasa ini langsung penuh diserbu penumpang. Akupun lagi-lagi kebagian di deretan ketiga sebelah kiri, sama seperti waktu berangkat tadi. Ternyata Restu ini tidak langsung berangkat, melainkan menunggu Tentrem di depannya dulu yang berangkat. Pukul 10.30 akhirnya panda ini angkat jangkar meninggalkan terminal Arjosari. Sempat kulihat Nusantara biru jurusan Semarang yang parkir di dekat pintu keluar.
Meninggalkan Arjosari langsung dihadang kemacetan. Hingga lampu merah di bawah fly over, panda ini tidak leluasa bergerak. Akupun menikmati kemacetan di siang hari tersebut sambil sesekali melirik makhluk halus disebelah. Hehehehe. Lepas macet kukira panda ini akan berlari,ternyata dugaanku salah. Masih dengan style alon-alon asal kelakon sampai pasar Singosari. Dari sinilah sang panda mulai menunjukkan aksinya. Goyang kanan kiri sambil memainkan klakson dan kecepatan tinggi tentunya. Tiba-tiba… “Dhuaarrr……”, terdengar suara yang keras disaat bis melaju dengan kecepatan tinggi di sebuah jalur menurun menjelang Purwosari. Setelahnya N 7763 UG ini terasa oleng. Akhirnya di depan pabrik Indolakto bis berhenti. Usut punya usut ternyata salah satu ban belakang ada yang pecah. Diputuskan semua penumpang akan dioper.
Menunggu di siang yang sangat panas, silih berganti lewat di depanku Restu pariwisata, Tentrem, Patas Kalisari dan Laksana Anda serta Hafana. Datang satu Restu ATB, ternyata sudah full. Dibelakangnya ada lagi Restu ATB, sebagian penumpang naik meskipun harus upacara. Agak lama kemudian terlihat Restu ATB lagi menghampiri kami. Kali ini N 7444 UG menjadi juru selamat. Sisa penumpang semua terangkut. Melihat potongan sang pawang yang masih muda, berambut jabrik dan bertindik membuatku yakin panda marcopolo ini akan ngeblong. Namun keyakinanku sirna taktala Hino AK8 buatan tahun 2009 ini malah berjalan santai. Yasudahlah, nikmati saja perjalanan ini. Ada yang aneh ketika kondektur menarik ongkos, aku bilang operan. Dimintalah karcis sebelumnya. Awalnya aku mengira karcisku akan diganti, tapi ternyata malah di kembalikan dan diberi karcis baru pula. Beda dengan pola pengoperan bis pantura,dimana karcis kita diminta kemudian diganti karcis baru.
Memasuki tol, hujan mengguyur sehingga laju bis bebodi buatan Adi Putro ini tetap slow. Memasuki Medaeng kemacetan parah terjadi, sementara jam di tangan sudah menunjukkan pukul 1 lebih. Aku khawatir panda ATB incaranku menuju Pati sudah berangkat. Namun akhirnya hampir pukul 14.00 aku sudah mencapai Bungurasih kembali dengan hujan yang sangat deras. Terlihat di starting grid sosok incaranku. Menembus hujan kuberlari menyongsongnya, dan apes lagi ternyata. Kondisi penumpang sudah hampir full. Akhirnya deret pojok kiri paling belakang menjadi pilihanku untuk mengistirahatkan raga ini sampai Pati nanti. Pukul 14.20 waktu Bungurasih, panda Jetbus yang nantinya didapuk sebagai Sinar Mandiri angkatan pertama dari Semarang ini bergerak meninggalkannya dengan penumpang penuh. Kulihat ada sebuah panda lagi bertagline “Ada Rindu” yang mengisi slot dibelakangnya. Ah sial,mengapa tak kunaiki bis itu saja, kutukku dalam diri. Namun aku mencoba menikmati perjalanan ini. Memasuki tol hujan telah berhenti, N 7380 UG inipun bisa lebih leluasa dipacu hingga tak terasa Hino AK8 ini telah mencapai terminal Bunder. Mahar 45ribu rupiah yang kukeluarkan untuk menebus jarak Surabaya-Pati. Posisi dudukku yang diatas overhang belakang sebelah kiri tentu hanya bisa menyaksikan pemandangan dari sebelah kiriku saja. Deretan pohon, rumah, serta sawah seakan mempersilahkan Jetbus rebody ini untukterus berlari. Dentuman speaker dari beberapa sisi cukup menghibur sore itu, meskipun lagi-lagi harus memperdengarkan dangdut koplo. Bahkan kondektur gendut yang lebih sering stand by di pintu beakang pun tak berhenti bergoyang sore itu.
Ruas Lamongan-Babat-Tuban-Tambakboyo hingga Rembang dilaluinya dengan mulus, tanpa aksi ngetem sama sekali. Lepas maghrib akhirnya bis buatan 2008 ini berhenti di depan Taman Kartini Rembang. Semoga tidak dioper lagi, pikirku mengingat kejadian beberapa bulan kemarin menggunakan jasa N 7381 UG yang sukses menjadi PHP pada malam itu. “Ada Rindu tiba beberapa saat kemudian,ternyata penumpangnya lah yang dioper. Aman…. hehehehe.
Sang panda yang awalnya bernick name “BANDOT” inipun melaju kembali, hanya berhenti lumayan lama lepas Juwana karena menunggu paket yang harus dibawa sampai akhirnya pukul 20.30 aku turun di SMP 4 Pati dan kemudian terdampar di angkringan depan Samsat sebelum akhirnya Eko, teman semasa berseragam putih abu-abu datang menjemputku.
Selepas “Reuni bersama Musik” akupun diantar Eko dan Ardi menuju SMP 4 kembali guna mencari transporterku menuju Semarang. Suasana kota Pati malam itu masih lumayan ramai. Jam 12 malam akhirnya yang kutunggu datang, dialah Sinar Mandiri (lagi) bernick name “New Zynden”. Masuk dari pintu belakang, menuju seat deret 2 dari depan terlihat bukan pawang aslinya dibalik setir, melainkan sang kondektur yang pada dinihari itu merangkap tugas menjadi sopir. Ternyata pawang aslinya tertidur di bangku 3 seberangku. Tugas kondektur kemudian diambil alih oleh kernet yang wajahnya sudah sangat familiar. Limabelas ribu rupiah untuk jarak Pati-Semarang, namun kali ini di tambahi dengan pesan “Nanti kalo ada kontrol,bilang spidol ijo ya…”, pikirku asem banget nih disuruh berbohong, lagian juga Minggu spidol ijo tidak berlaku.
Wusss….. Sinar Mandiri “Romantis” mengasapi dari sisi kanan, kemudian meliuk-liuk membelah gelap. N 7481 UG itu memang cepat, padahal jarak berangkatnya dari Surabaya terpaut setengah jam dari N 7729 UG ini. Plt sopir namun tak terpancing, di biarkannya saja kakaknya itu berlari. Dia tetap dengan style kalem.
“Kudus…..Kudus……”, teriakan kondektur membangunkan beberapa penumpang. Tanpa dikomando pawang asli terbangun, dan turun bersama kondekturnya. Setelah aku lirik kiri, owalah…… sebuah pohon menjadi saksi pipis berjamaah oleh mereka. Hahahahaha…… tak lama berhenti, Hino AK8 buatan tahun 2011 ini kembali melaju dibawah kendali sang pawang asli yang malam itu menggelikan karena memakai kaos pink. Sampai di batas kota Kudus, aku yang niatnya ingin tidur pun akhirnya batal ketika melihatnya memasang headset. Pasti ada konser nih, pikirku. Dan ternyata benar,belum lama headset menancap sudah terdengar lantunan-lantunan tak jelas. “Huaaaa…….. Huaaaaa………”, “Dek jaman peeerrrrrr….. Huaaaaa……”, ditambah lagi Pak Jeprank, begitu temanku menyebutnya menyiram rambut dengan air mineral di depannya sambil terus bernyanyi tidak jelas. Sontak hal itu membuatku ngakak, yang tentu saja aku tahan. Hahahahaha…..
Akupun terus menunggu “atraksi” berikutnya, siapa tau ada “Jembatan-jembatan” lagi. Hahahahaha…. Flash back mengenai “jembatan-jembatan, sebenarnya cerita awal juga dimulai dari bis ini, begitu pula sopirnya. Ketika itu aku dalam perjalanan menuju kota kelahiranku menggunakan bis ini, di Kudus naiklah seorang nenek yang duduk di sebelahku. “Pak awas, jembatan kiri”, kata nenek itu ketika sampai di ruas Buyaran dengan nada yang tidak jelas. Sang sopir menoleh, kemudian berteriak “Jembatan….. Jembatan……”, namun bis tetap bablas. Dan anehnya penumpang sebelah juga tak bersiap turun. Hingga akhirnya menjelang Semarang, ibi-ibu yang bareng nenek itupun kaget “Lho mbah, kok tidak turun?”, tanyanya. “Lha ini sopirnya budeg, kernetnya goblog, gak diturunin”, jawab nenek itu. “Kan tadi sudah saya tanya mbah, katanya mbah nya mau bilang sendiri. Ini bis tidak ada kernet lho, kasihan sopirnya. Jangan dimarahin, nanti dosa lho mbah”, jawab ibu tersebut yang sukses membuatku ngakak. Akhirnya nenek tersebut turun di Terboyo, dan kembali lagi menggunakan bis kecil. Lak yo malah enak to mbah, naik bis dapat bonus sampai jauh. Hehehehehe….
Back to story, permadani hitam yang sepi tak membuat sang pawang ini memacu tunggangannya, hanya di kisaran 50-60 km/h saja. Tampaknya tak ada lagi kata “jembatan-jembatan”. Wusss….. 2 buah Lorena Jetbus 2 mengasapi New Proteus ini dari kiri saat menapak aspal daerah Sayung. Dan…… akhirnya sang pawang pun panas, di tempelnya kedua armada yang bermarkas di Tajur ini, sambil diiringi lagu tidak jelas. “Huaaaaa….. huaaaaa…… Cintaaaaa……Kamu tau nggak….”. Spontan aksi tersebut hampir saja membuat tawaku kelepasan. Pun ketika sampai bangjo Genuk, terdengar sayup-sayup sopir Tiara Mas disamping mengajak berbicara, namun Pak Jeprank hanya menoleh, dan berteriak “Nguantuuuuukkkkkk……”, yang sukses membangunkan seluruh penumpang bisnya.
“Hemahang herahir….. Hemahang herahir…..”, katanya saat sampai di lampu merah terminal Terboyo yang maksudnya tentu “Semarang terakhir…..”.
Pukul 1.45 akupun turun dari kabin New Proteus buatan 2011 itu. Seketika tawaku langsung pecah, untunglah sepi. Dan, akhirnya pukul 2.15 perjalananku pun berakhir.

image

Inside "Boros"

image

Bugurasih waiting room

image

Restu 7763

image

Pak Jeprank

Tinggalkan komentar